Thursday, 16 April 2020

Air Mata Telah Berganti

 

Matahari bersinar sangat cerah secerah raut wajahnya yang mendapatkan peringkat pertama disekolahnya. Namanya Wirda gadis kecil yang tengah menempuh pendidikan disebuah sekolah menengah atas ditepi bukit. Ia berlari-lari kecil menju rumahnya tidak sabar memperlihatkan prestasi yang dia dapatkan selama pelajaran satu semester. Sambil bernyanyi kecil yang riang dia selalu membayangkan cita-citanya ingin menjadi lulusan luar negri yang sudah menjadi mimpinya semenjak menduduki bangku sekolah menengah.

Setiap hari Wirda membantu ibunya berjualan kue bolu di pasar, rupiah demi rupiah ia kumpulkan agar bisa melanjutkan kuliah ke kota. Mimpinya berawal dari sebuah novel yang ia baca Negeri Lima Menara yang ditulis oleh Ahmad Fuadi. Dari novel itulah ia termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya. Ibunya hanya seorang pedagang kecil-kecilan dan ayahnya seorang penggali pasir. Saat hujan turun dengat lebatnya disanalah rezeki ayahnya karena air akan membawa kikisan tanah dari bukit dan mengendap didasar sungai. Paginya ayah Wirda akan bergegas pergi kesugai dan mengali pasir. Saat matahari telah terik sang ayah berteduh di pondok tua miliknya di pinggir sungai untuk rehat sejenak setelahnya dilanjutkan lagi menggali pasir yang nantinya akan ada sopir truck yang akan membeli pasir-pasir itu dengan harga yang disepakati bersama.

“Paaakkk” teriakan Wirda menyentakkan beliau dari lamunannya. Kulitnya yang hitam tersengat matari setiap hari, sorot matanya yang tajam memancarkan semangat perjuangannya dalam mencari nafkah.

“Pak liha ini” kata Wirda sambil menayangkan piala bergilir itu di tangannya.

            Setiap ajaran baru Ibu Wirda pergi kesekolah menemui wakil kesiswaan untuk meminta keringan uang sekolah, ibunya sangat mengutamakan pendidikan anak-anaknya. Sayangnya, hanya Wirda yang bersekolah hingga SMA, kak dan abangnya lebih memilih untuk bekerja, mereka tidak ingin memberatkan beban orang tua selama ini. Wirda sosok anak cerdas dari SD hingga SMA tidak pernah lepas dari peringkat pertama, itu lah yang membuat Wirda tetap semangat untuk bersekolah meskipun penuh dengan kekurangan. Segala bentuk beasiswa ia terima dengan beasiswa itulah ia mampu untuk terus melanjutkan sekolahnya.

            “Buk.. Wirda nanti mau kuliah kekota buk”

            “Ke kota mana Wir?”

            “Wirda mau ke Bandung buk” kata  Wirda dengan wajah takut-takut jika nanti ibunya tidak mengizinkannya untuk pergi keluar kota.

            “Kemanapun Wirda ingin melanjutkan pendidikan pergilah nak, sekolah yang rajin, yang pinter jangan sampai jadi orang susah seperti ibu dan bapak”

            “Iya buk, Wirda janji, Wirda akan jadi orang sukses, buat ayah dan ibuk bangga, doakan Wirda ya buk?”

            Ditahun 2011 Wirda berangkat dengan uang yang pas-pasan dari orang tuanya. Ia mengikuti tes demi tes. Dengan bismillahirrohmanirrohim Wirda melangkahkan kakinya kegedung perguruan tinggi yang sangat ia idam-idamkan semenjak SMP. Semua ia ikuti prosesnya dengan baik dan penuh keyakinan karena ia yakin Allah tidak akan membuatnya kecewa. Berharap kepada selain Allah hanya akan membuat kita kecewa. Itulah yang ditanamkan Wirda dalam dirinya.

            Hari yang ditunggupun datang Wirda dinyatakan lulus sebagai mahasiswa ingin rasanya ia pulang dengan membawa kabar bahagia ini kepada ibunya. Karena kondisi keuangan yang memprihatinkan ia lebih memilih untuk tidak pulang. Hidup                                                               dikota tidaklah mudah, sambil kuliah Wirda bekerja sebagai pelayan kantin di kampusnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

            Di Semester ke-dua IP/IPK nya hampir mendekati 4 dengan modal IPK ia mendapatkan beasiswa full membuatnya tersenyum renyah tak lagi ia pusingkan untuk membayar UKT setiap semesternya. Meskipun begitu ia tetap bekerja separoh waktu. Dari pagi hingga dzuhur , ia sibuk dengan jadwal perkuliahannya saat semua mahasiswa memilih pulang ataupun hang out tapi tidak dengan Wirda. Sebaliknya ia gunakan waktunya untuk berkunjung ke perpustakaan, dihari-hari tertentu ia harus menjadi pelayan kantin dan setiap sore ia mengajar les anak SD-SMA. Karena kecerdasannya ia dipercaya untuk mengajar matematika meskipun latar belakang pendidikannya bukan matematika.

            “Wirda..wir” Gio setengah berlari mengejarnya

“Ada apa yo?”

“Ke perpus yuk Wir, ada yang ga aku pahami soalnya” ucap Gio

“Maaf ya yo hari ini aku sedang sibuk, bagaimana jika besok habis maagrib?”

Sebenarnya Wirda tidak tega untuk menolak Gio yang ingin belajar bersamanya tapi mau bagaimana lagi ia yang selalu disibukkan untuk bekerja, hidup dikota juga butuh perjuangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dipojik ruangan Wirda menangis ia lelah dengan kesukaran yang ia lalui, siapa sangka sosok yang dikagumi itu memiliki titik lelahnya juga, demi cita-cita dan masa depannya ia rela melakukan apa saja demi bisa bertahan dan melanjutkan pendidikannya. Ia harus sukses demi ayah dan ibunya memberikan masa tua yang lebih baik lagi tak mungkin ibu dan ayahnya bekerja seumur hidup mereka. Membayangkan wajah orang tuanya saja semangatnya kembali bangkin, baginya dunia itu untuk berlelah-lelah dan akhirat adalah tempat terbaik untuk beristirahat.

Jangan pernah menanggap dirimu lebih menyedihkan masih banyak mereka yang hidup serba kekurangan dan jika engkau masih mau berusaha semua tak akan ada yang sia-sia dengan menyertakan Tuhan disetiap prosesnya. Tahajjud adalah senjata utamanya untuk mencapai segala keinginanya Allah menjanjikan 4 hal untuk orang yang selalu menjaga solatnya terlebih solat tahajjudnya salah satunya adalah Allah memudahkan baginya segala urusannya dan itulah yang dirasakan Wirda selama ini. Meskipun tidak merasakan bagaimana rasanya hang out seperti teman-temannya tapi ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk merayu Allah ta’ala.

“Wir kamu ngak capek apa tiap hari kerja,kuliah?”

“Ngak lah Nur, klw ngak kerja dapat uang darimana ngak mungkin mengandalkan orang tua, kamu sendiri tau bagaimana kehidupanku”

“Tapi wir, aku kasihan liat kamu tiap hari kerja mulu?”

“Kasihanilah mereka yang hidup dengan anggota tubuh yang tidak sempurna Nur, mereka aja ngak mengeluh apalagi mengasihani diri mereka sendiri, masak kita kalah sama mereka” Itulah yang sering Wirda katakan kepada teman-temannya yang mencoba menuruh prihatin atas dirinya. Bagi Wirda semuanya sudah menjadi hobi.

Tak terasa waktu begitu cepat tepat pertengahan Agust 2015 dirinya akan diwisuda, tak terasa semua pengorbanannya terbayar sudah. Ibu dan Ayahnya akan melihat dirinya memakai baju kebanggaan para Wisudawan. Air matanya berlahan jatuh tak henti bagaikan air hujan yang mengujani bumi, selama empat tahun tidak bertemu dengan orang tuanya.

“Bapak sama ibuk ga bisa datang ke acara wisudamu Wir” Ucap ibu dihujung talian sana.

“Ga apa Buk yang penting bapak sama ibuk doin wirda ya?” kataku dengan menahan air mata supaya tidak turun membasahi lagi pelupuk mata. Saat semua orang tua menghadiri acara wisuda anak-anak mereka cuma Wirda yang sendirian tanpa sesiapapun kecuali teman akrabnya Gio.

“Selamat ya Wir” ucap Gio

“Iya Gio, selamat juga untukmu, Oiya orang tuamu dimana?”

“Mereka ada disana” tunjuk Gio. Diantara para orang tua ditengah-tengah dengan kebaya kekuning-kuningan lembut memancarkan sosok bahagia orang tuanya Gio. Berbeda sekali dengan Wirda saat ia menoleh pada barisan jajaran orang tua tidak dia lihat orang tuanya sama sekali.

“Andaikan ibuk ada disana” gumam Wirda dengan wajah yang tetap ia tayangkan senyum terbaiknya. Itulah Wirda disegala kondisi ia tetap tersenyum meski gelombang tengah menghantam batinnya.

Perjuangannya tidak hanya sampai disitu ia terus menggalipotensi diri untuk menjadi yang terbaik demi orang tuanya, semua yang ia lakukan atas dasar orang tua, karena mereka berhak bahagia dimasa tuanya. Pada tahun 2017 ia resmi berangkat ke-Belanda untuk melanjutkan study megister dengan beasiswa LPDP. Saat berada di Negri kincir angin itu rasa syukur yang tak henti ia ucapkan. Seorang gadis kampung, anak penggali pasir menginjakkan kaki di negri kincir angin. Ia tidak pernah membayangkan akan hal ini sebelumnya, karena keinginan dan kesungguhannya ia mampu mewujudkan mimpinya.

Jika dulu ia tidak bisa menikmati bagaimana rasanya masa-masa kuliah tanpa bekerja sekarang ia menikmatinya. Ternyata kuliah diluar negri tidak semudah yang dibayangkan, kita harus mampu untuk membagi waktu, saat pulang kuliah saja sambil berjalan harus tetap membaca jurnal tidak seperti di Indonesia disaat menempuh jenjang S1 masih bisa untuk berleha-leha tapi tidak di negera ini. Semua harus perfect jika nilai kurang satu saja maka akan dinyatakan gagal dan harus mengulanginya lagi tahun depan. Berdasarkan pengalaman dinegara kincir angin sistem penilaian sangatlah fleksible dan transparan jadi kita mengetahui dimana letak kekurangan kita.

Saat salju turun adalah hal yang sangat ia tunggu-tunggu, gadis kampung sepertinya akhirnya merasakan bagaimana dinginnya musim salju dan membuat boneka salju bersama teman-teman seperjuangannya. Selama di Belanda ia tidak hanya terfokus ke satu negara saja, rata-rata ia telah menjelajahi hampir sebagian benua Eropa, meskipun begitu belajar adalah hal utama, diatas kareta api pun ia masih sempatkan untuk menulis essaynya. Perjuangannya belum selesai sampai di wisuda untuk kedua kalinya. Ia harus memberikan hasil yang memuaskan agar tidak memalukan instansi.

Tepat pada bulan Januari 2019 Wirda pulang ke tanah air, siapa sangka ayah dan ibunya menantikan kedatangannya tak berfikir panjang dari kejahuan Wirda melihat kedua orang tuanya dan berhamburan kedalam pelukan ibunya. Semua perjalanan, pengorbanan, derita dan air mata terbayar sudah dengan sebuah kesuksesan.

2 comments: